KONEKSI MEDIA – Indonesia berduka. Salah satu bencana alam paling mematikan dalam sejarah modern negara ini terjadi pada Selasa dini hari, 18 November 2025, ketika Gunung Semeru yang dikenal sebagai “Mahameru,” meletus dengan kekuatan yang melampaui seluruh prediksi seismik. Data terkini yang dirilis oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Kamis malam, 20 November, mengonfirmasi angka korban tewas mencapai 709 orang. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah seiring tim penyelamat berhasil mencapai zona-zona terisolasi.
Peringatan Dini yang Terlambat
Letusan masif ini didahului oleh serangkaian gempa vulkanik yang tidak biasa sejak dua hari sebelumnya. Namun, letusan puncak terjadi saat sebagian besar warga masih terlelap. Pukul 01.35 WIB, Semeru memuntahkan kolom abu setinggi lebih dari 15 kilometer ke langit, diikuti oleh Awan Panas Guguran (APG) yang meluncur deras dengan kecepatan diperkirakan mencapai 100 km/jam.
Zona yang paling parah terdampak adalah Kabupaten Lumajang khususnya di sepanjang aliran Sungai Besuk Kobokan, Besuk Sat, dan Besuk Kembar. Tiga kecamatan utama Pronojiwo, Candipuro, dan Pasirian menjadi titik nol kehancuran. APG, yang membawa material panas, dengan cepat menuruni lereng dan menghanguskan segalanya di jalur mereka, diikuti oleh banjir lahar dingin yang membawa lumpur tebal dan batu-batu raksasa.
“Kami tidak punya waktu,” ujar Bapak Arifin (54), seorang penyintas dari Desa Supiturang, Kecamatan Pronojiwo, dengan mata berkaca-kaca. “Alarm berbunyi, tapi tidak sampai lima menit, kami sudah melihat dinding lumpur dan api datang. Banyak tetangga kami yang tertimbun di tempat tidur mereka. Ini adalah neraka di bumi.”
Skala Kehancuran: Ribuan Rumah Hancur
Dampak fisik bencana ini sangat menghancurkan. Survei udara awal menunjukkan bahwa lebih dari 8.500 unit rumah di 18 desa telah rusak parah hingga hancur total, terkubur di bawah timbunan abu dan lahar setinggi rata-rata tiga hingga lima meter. Infrastruktur vital, termasuk jembatan Gladak Perak yang merupakan jalur utama penghubung Lumajang-Malang, kini tidak dapat dilewati setelah diterjang lahar.
Data BNPB juga mencatat:
- 709 Korban Meninggal Dunia yang berhasil diidentifikasi.
- 1.124 Orang Luka-Luka, sebagian besar menderita luka bakar serius dan trauma pernapasan.
- 49.000 Jiwa mengungsi ke 156 titik pengungsian darurat di Lumajang dan Malang.
- 60% lahan pertanian dan perkebunan di lereng selatan Semeru musnah.
Operasi Pencarian dan Penyelamatan yang Penuh Tantangan
Saat ini, operasi pencarian dan penyelamatan (SAR) gabungan yang melibatkan Basarnas, TNI, Polri, dan ribuan relawan berjuang melawan medan yang ekstrem. Suhu panas dari material vulkanik yang masih tinggi, tebalnya lumpur dan abu, serta potensi APG susulan menjadi penghalang utama.
Komandan Operasi SAR, Mayor Jenderal Teguh Santoso, menyatakan bahwa fokus utama saat ini adalah mengevakuasi korban yang mungkin terjebak di bawah reruntuhan di desa-desa yang terisolasi seperti Sumberwuluh dan Curah Kobokan.
“Kami menggunakan alat berat dan anjing pelacak, namun medannya sangat sulit. Setiap hari kami harus menghentikan operasi karena cuaca buruk atau adanya peningkatan aktivitas vulkanik,” jelas Mayjen Santoso dalam konferensi pers darurat. “Kami harus realistis, harapan untuk menemukan penyintas di bawah timbunan lahar kini semakin tipis, namun kami tidak akan menyerah.”
Bantuan Darurat dan Solidaritas Nasional
Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan status “Bencana Nasional” dan segera mengunjungi lokasi untuk meninjau langsung penanganan darurat. Bantuan logistik, termasuk makanan siap saji, obat-obatan, selimut, dan tenda darurat, terus mengalir dari seluruh penjuru negeri.
Pemerintah berjanji untuk segera memulai proses rehabilitasi dan rekonstruksi besar-besaran, termasuk relokasi permanen bagi warga yang tinggal di zona merah Semeru. Namun, prioritas utama tetap pada penanganan pengungsi dan pemulihan psikologis bagi para penyintas yang kehilangan keluarga dan harta benda mereka dalam sekejap.
Tragedi Semeru ini menjadi pengingat yang menyakitkan akan kekuatan alam yang tidak terduga dan menuntut evaluasi ulang sistem mitigasi bencana di wilayah dengan risiko vulkanik tinggi di seluruh Indonesia.

