Batu Bara Disebut Tak Seharusnya Kena Bea Keluar, Pengusaha Minta Skema Tarif Proporsional

Batu Bara Disebut Tak Seharusnya Kena Bea Keluar, Pengusaha Minta Skema Tarif Proporsional

KONEKSI MEDIA – Wacana pemerintah untuk kembali mengenakan bea keluar (BK) atas komoditas batu bara, yang menjadi salah satu andalan ekspor Indonesia, menuai reaksi keras dari kalangan pengusaha pertambangan. Mereka mendesak pemerintah agar meninjau ulang rencana kebijakan tersebut, bahkan menyatakan bahwa secara fundamental, batu bara seharusnya tidak dikenakan bea keluar sama sekali, dan meminta skema yang benar-benar proporsional jika kebijakan tersebut tetap dilanjutkan.

Permintaan ini muncul di tengah proses pembahasan aturan teknis bea keluar batu bara yang saat ini sedang dimatangkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) 2026.

Bea Keluar Dinilai Kontraproduktif

Perwakilan asosiasi pengusaha pertambangan menilai bahwa pengenaan bea keluar pada komoditas batu bara adalah kebijakan yang kontraproduktif dan berpotensi sangat membebani industri, terutama di tengah tren harga batu bara global yang kembali fluktuatif, bahkan cenderung menurun setelah sempat melonjak tajam.

Sejak dihapuskan pada tahun 2006, ekspor batu bara Indonesia hanya dikenakan royalti sebagai bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), berbeda dengan bea keluar yang merupakan pajak yang dikenakan atas barang ekspor. Pengusaha berargumen, fungsi utama bea keluar seharusnya adalah untuk mengendalikan ekspor bahan mentah demi mendorong hilirisasi sebuah skema yang dinilai tidak tepat diterapkan pada batu bara.

“Batu bara adalah komoditas energi, bukan mineral logam yang wajib dihilirisasi. Secara prinsip, komoditas yang tidak memiliki rantai nilai hilirisasi di dalam negeri seperti nikel atau bauksit seharusnya tidak dikenakan bea keluar,” ujar seorang perwakilan asosiasi, yang menyoroti perbedaan perlakuan antara komoditas yang wajib diolah dan yang langsung digunakan sebagai sumber energi.

Menurut mereka, penambahan pungutan dalam bentuk bea keluar hanya akan meningkatkan biaya operasional dan produksi secara signifikan. Hal ini tidak hanya akan menggerus margin keuntungan perusahaan, tetapi juga berpotensi mengganggu rencana investasi jangka panjang, serta membuat harga batu bara Indonesia menjadi tidak kompetitif di pasar global dibandingkan dengan negara produsen lain.

Mekanisme Proporsional yang Diharapkan

Meskipun menentang secara fundamental, para pelaku usaha menyadari bahwa pemerintah tampaknya berkomitmen untuk menerapkan kebijakan ini, didorong oleh kebutuhan untuk memperkuat penerimaan negara dan mendorong nilai tambah. Oleh karena itu, jika kebijakan bea keluar harus diterapkan, pengusaha meminta agar strukturnya disusun secara proporsional dan adil.

Pengusaha mengusulkan agar bea keluar hanya dikenakan ketika harga batu bara berada di atas ambang batas keekonomian tertentu (misalnya, di atas $150 per ton, seperti wacana yang pernah muncul sebelumnya). Jika harga berada di bawah ambang batas tersebut atau bahkan di zona kerugian maka pungutan bea keluar harus dibebaskan.

“Kami berharap ada ruang dialog yang dibuka oleh pemerintah, khususnya Kemenkeu dan ESDM, agar penambang dapat memberikan masukan yang konstruktif. Skema yang proporsional akan memastikan bahwa ketika harga sedang tinggi dan pengusaha untung besar, negara bisa berbagi melalui penerimaan tambahan. Namun, ketika harga turun, jangan sampai bea keluar justru mematikan operasional dan investasi,” tegas mereka.

Dorongan Hilirisasi dan Kepastian Aturan

Di sisi lain, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal menegaskan bahwa instrumen bea keluar tetap diperlukan. Selain untuk penerimaan negara, kebijakan ini juga diharapkan menjadi insentif tidak langsung untuk mendorong dekarbonisasi dan hilirisasi batu bara, misalnya melalui gasifikasi atau upaya peningkatan nilai tambah lainnya.

Saat ini, aturan teknis mengenai besaran tarif dan mekanisme pengawasannya masih dalam pembahasan intensif antarkementerian dan akan dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Pemerintah berjanji bahwa struktur tarif akan dirancang agar konsisten dalam mendukung hilirisasi dan memperkuat aktivitas perekonomian dalam negeri.

Namun, yang paling dibutuhkan oleh pelaku industri saat ini adalah kepastian hukum dan kejelasan aturan. Pengusaha berharap PMK tersebut dapat segera diterbitkan, dengan mempertimbangkan masukan industri agar kebijakan baru ini tidak justru menimbulkan gejolak dan mengganggu posisi Indonesia sebagai produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia.