Israel Curi 1,8 Juta M² Tanah Palestina Lewat Modus Situs Arkeologi

Israel Curi 1,8 Juta M² Tanah Palestina Lewat Modus Situs Arkeologi

KONEKSI MEDIA – Upaya berkelanjutan Israel untuk mencaplok tanah Palestina di Tepi Barat kembali terkuak dengan modus baru yang menimbulkan kecaman keras. Kali ini, instrumen yang digunakan adalah pengembangan “situs arkeologi”, dalih yang memungkinkan Israel menyita hingga 1,8 juta meter persegi (setara 1.800 dunam atau 180 hektar) lahan pertanian dan bersejarah milik Palestina. Langkah ini dinilai sebagai penyitaan lahan terbesar untuk tujuan arkeologi di Tepi Barat sejak pendudukan pada tahun 1967.

Fokus pada Sebastia: Warisan Kuno di Jantung Konflik

Target utama dari manuver terbaru ini adalah Sebastia, sebuah kota kuno di wilayah Nablus, Tepi Barat utara, yang kaya akan sejarah mulai dari Zaman Perunggu (3.200 SM) hingga era Islam, Romawi, dan Bizantium. Sebastia diyakini sebagai lokasi kota kuno Samaria dan memiliki makna religius yang mendalam bagi umat Kristen (sebagai tempat pemakaman Yohanes Pembaptis) dan Muslim (Nabi Yahya).

Harian Israel, Haaretz, melaporkan bahwa perintah penyitaan tersebut dikeluarkan oleh Administrasi Sipil Israel baru-baru ini. Perintah ini tidak hanya mencakup situs arkeologi Sebastia itu sendiri, tetapi juga wilayah luas kebun zaitun yang berisi ribuan pohon zaitun, sumber penghidupan utama bagi warga Sebastia dan desa tetangganya, Burqa.

Keputusan ini menuai kemarahan karena Sebastia merupakan sumber pendapatan vital dari sektor pariwisata bagi penduduk Palestina setempat. Dengan penyitaan ini, warga Palestina diberikan waktu yang sangat singkat, hanya 14 hari, untuk mengajukan keberatan sebelum proses pencaplokan dilaksanakan secara resmi.

Melanggengkan Aneksasi Lewat Sejarah

Para analis dan kelompok pemantau hak asasi manusia, seperti Peace Now, menegaskan bahwa penggunaan dalih arkeologi adalah strategi yang licik dan sistematis oleh pemerintah Israel untuk memperkuat cengkeraman mereka di Tepi Barat. Israel mengalokasikan dana signifikan, dilaporkan mencapai lebih dari $9,24 juta, untuk proyek pengembangan pariwisata dan penggalian arkeologi di Sebastia. Dana ini ditujukan untuk memperkuat citra sejarah dan budaya situs tersebut sebagai “warisan Israel,” sekaligus memperkuat klaim teritorial atas wilayah yang diduduki.

Langkah ini sejalan dengan rancangan undang-undang yang disahkan oleh Knesset pada Juli 2024, yang memperluas kewenangan Otoritas Purbakala Israel (IAA) untuk mencakup seluruh situs arkeologi di Tepi Barat. Perluasan kewenangan ini secara efektif mengabaikan otoritas Palestina atas warisan budaya mereka sendiri dan melegitimasi kontrol Israel atas lebih dari 2.400 situs kuno Palestina.

Modus operandi ini bukan hal baru. Arkeolog anti-pendudukan telah lama menyoroti bagaimana klaim arkeologis digunakan untuk membenarkan pengambilalihan tanah dan pemindahan pemukim Yahudi, mengemas agenda politik dan kolonial di balik kedok penelitian ilmiah dan pelestarian warisan.

Kecaman Palestina dan Seruan Internasional

Pemerintah Palestina dan berbagai lembaga penelitian seperti Institut Penelitian Terapan Yerusalem (ARIJ) mengutuk keras tindakan ini, menyebutnya sebagai “pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional” dan “kejahatan terbuka berupa pemalsuan sejarah dan masa kini.”

Wakil Menteri Pariwisata dan Purbakala Palestina, Saleh Tawafsha, menuduh Israel melancarkan serangan sistematis untuk memalsukan sejarah Palestina dan mencuri barang antik sejak tahun 1967. Menurut ARIJ, Israel sejauh ini telah mengklaim 63 situs arkeologi Palestina di Tepi Barat sebagai “situs warisan Israel” dalam langkah terpisah, yang bertujuan menghapus identitas asli Palestina.

Pihak Palestina mendesak komunitas internasional, khususnya Badan Kebudayaan dan Pendidikan PBB (UNESCO), untuk segera turun tangan dan mengambil tanggung jawab dalam melindungi situs-situs bersejarah dari klaim dan pencurian ilegal oleh Israel. Mereka berpendapat bahwa narasi Israel ini tidak hanya bertujuan untuk mengkonsolidasikan kehadiran pemukim ilegal tetapi juga melemahkan kemungkinan berdirinya negara Palestina di masa depan dengan mengubah identitas geografis dan demografis wilayah tersebut.

Penolakan Hukum Internasional

Langkah-langkah Israel ini berlangsung di tengah tekanan hukum internasional yang meningkat. Mahkamah Internasional (ICJ) dalam opini penasihatnya pada Juli 2024 telah menyatakan bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina adalah ilegal, dan kebijakan serta praktik Israel di Tepi Barat dan Yerusalem Timur “sama dengan aneksasi sebagian besar” wilayah tersebut. ICJ menegaskan bahwa Israel tidak berhak atas kedaulatan di wilayah Palestina yang diduduki dan kekhawatiran keamanan tidak dapat mengesampingkan prinsip larangan perampasan wilayah dengan kekerasan.

Meskipun ada penolakan global dan keputusan ICJ, Israel tampaknya semakin gencar melakukan praktik aneksasi de facto ini. Dengan mengklaim 1,8 juta meter persegi tanah Sebastia sebagai zona arkeologi, Israel mengirimkan sinyal jelas bahwa mereka akan terus menggunakan semua instrumen yang tersedia, termasuk sejarah dan budaya, untuk memajukan agenda kolonialnya di wilayah Tepi Barat yang diduduki.