KONEKSI MEDIA – Fenomena yang mengkhawatirkan kini melanda sejumlah kawasan perumahan paling eksklusif di dunia. Para ‘sultan‘ atau individu berharta sangat tinggi, yang mayoritas merupakan miliarder global, dilaporkan ramai-ramai meninggalkan properti mewah mereka, bahkan membiarkannya kosong. Eksodus ini didorong oleh satu ketakutan utama: diburu oleh rezim pajak properti yang semakin ketat dan tinggi.
Salah satu lokasi yang paling terdampak adalah St George’s Hill di Weybridge, Surrey, Inggris. Kawasan yang dikenal sebagai tempat tinggal para elite dunia ini dilaporkan oleh media setempat kini terancam berubah menjadi “kota hantu” karena banyaknya rumah-rumah megah yang ditinggal oleh pemiliknya.
Kekhawatiran Pajak Properti
St George’s Hill, dengan gerbang keamanan ketat dan lingkungan yang dikelilingi kehijauan, telah lama menjadi simbol status kekayaan. Namun, pemandangan rumah-rumah yang kosong, bahkan ada yang dibiarkan tak terawat, menjadi bukti nyata dari perubahan iklim finansial global.
Di Inggris, beberapa tahun terakhir telah terjadi peningkatan fokus pemerintah terhadap kekayaan properti yang tidak produktif dan berpotensi menjadi objek penghindaran pajak. Pemerintah setempat mempertimbangkan, dan bahkan telah menerapkan, kenaikan signifikan pada Pajak Dewan (Council Tax) untuk properti yang bernilai sangat tinggi, serta pajak atas kepemilikan kedua atau properti yang dibiarkan kosong dalam jangka waktu lama.
Bagi para miliarder yang memiliki portofolio properti di berbagai negara (seperti London, New York, Jenewa, atau Dubai), rumah di St George’s Hill sering kali hanya berfungsi sebagai investasi atau tempat singgah musiman. Ketika biaya pemeliharaan dan beban pajak tahunan melonjak tajam, insentif untuk mempertahankan properti tersebut berkurang drastis.
“Banyak dari rumah-rumah ini dimiliki oleh individu yang kekayaannya sangat cair dan bergerak cepat. Begitu suatu yurisdiksi menjadi tidak menguntungkan secara fiskal, mereka tidak ragu untuk menarik aset mereka dan beralih ke lokasi lain,” ujar seorang analis properti mewah dari London.
Mencari ‘Surga’ Pajak Baru
Eksodus ini tidak hanya terjadi di Inggris. Di sejumlah yurisdiksi berbiaya hidup tinggi seperti Paris, New York, dan beberapa kota di Australia, tren serupa mulai terlihat. Pemerintah kota-kota ini semakin agresif dalam menargetkan properti kosong, khususnya milik orang asing, dengan tujuan untuk mengatasi krisis perumahan dan meningkatkan pendapatan daerah.
Sebagai respons, para ‘sultan’ ini dilaporkan mengalihkan investasi properti dan tempat tinggal utama mereka ke negara-negara yang menawarkan insentif pajak lebih ramah atau bahkan tarif pajak nol untuk kepemilikan properti dan pendapatan. Kota-kota di Timur Tengah, khususnya Dubai, dan beberapa negara Karibia serta Swiss, kembali menjadi primadona bagi kaum super-kaya. Lokasi-lokasi ini menawarkan keamanan finansial, infrastruktur kelas dunia, dan yang paling penting, lingkungan pajak yang stabil dan rendah.
Dampak Ganda Bagi Pasar Lokal
Fenomena ini menimbulkan dampak ganda yang signifikan. Di satu sisi, pasar properti di kawasan elite yang ditinggalkan berpotensi mengalami devaluasi karena peningkatan pasokan properti mewah yang mendadak dijual. Hal ini kontras dengan anggapan umum bahwa properti mewah akan selalu mengalami kenaikan harga.
Di sisi lain, kekosongan ini merugikan perekonomian lokal. Rumah-rumah mewah yang ditinggalkan berarti berkurangnya permintaan untuk jasa-jasa pendukung, seperti pekerja rumah tangga, tukang kebun, perusahaan keamanan, hingga toko-toko mewah setempat. St George’s Hill, misalnya, kini dikhawatirkan kehilangan vitalitas sosial dan ekonomi yang dulu dibawanya.
Pemerintah di berbagai negara kini berada di persimpangan jalan. Mereka harus menyeimbangkan antara upaya yang sah untuk memajaki kekayaan secara adil dan risiko mendorong modal besar dan para miliarder yang mengendalikannya untuk angkat kaki. Jika tren ini berlanjut, kota-kota yang pernah menjadi daya tarik utama bagi kaum ultra-kaya dapat berubah menjadi monumen-monumen mahal yang sepi.

