China Kepung Taiwan dengan Latihan Militer Besar-besaran Misi Keadilan 2025

China Kepung Taiwan dengan Latihan Militer Besar-besaran “Misi Keadilan 2025”

KONEKSI MEDIA – Ketegangan di kawasan Asia Timur mencapai titik didih tertinggi di penghujung tahun 2025. Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) secara mendadak meluncurkan latihan militer berskala masif bertajuk “Misi Keadilan 2025” (Justice Mission 2025) di sekeliling Taiwan pada Senin (29/12) hingga Selasa (30/12). Manuver ini melibatkan pengepungan total terhadap pulau tersebut, simulasi blokade pelabuhan utama, hingga latihan tembakan langsung (live-fire) di lima zona strategis.

Pengepungan dari Segala Penjuru

Komando Teater Timur PLA menyatakan bahwa latihan ini merupakan respons keras terhadap “kekuatan separatis” di Taiwan dan keterlibatan pihak asing. Dalam operasi ini, China mengerahkan kekuatan tempur gabungan yang mencakup angkatan darat, laut, udara, serta pasukan roket.

Berdasarkan laporan Kementerian Pertahanan Taiwan, dalam 24 jam terakhir terdeteksi rekor pergerakan militer yang luar biasa:

  • 89 pesawat tempur, termasuk jet siluman J-20 dan pengebom H-6K, melintasi garis tengah Selat Taiwan.
  • 28 kapal perang dan kapal penjaga pantai (Coast Guard) yang mengepung wilayah perairan Taiwan.
  • 4 kapal serbu amfibi terlihat di posisi 160 mil laut di sebelah barat ujung selatan Taiwan, menandakan simulasi pendaratan pasukan.

Latihan ini berbeda dari sebelumnya karena China secara terang-terangan mensimulasikan pemutusan akses bantuan internasional. Pihak Beijing menegaskan bahwa tujuan utama “Misi Keadilan 2025” adalah menguji kemampuan “penolakan area” (anti-access/area denial) untuk mencegah intervensi militer pihak luar, yang secara tersirat merujuk pada Amerika Serikat dan sekutunya.

Taiwan Siaga Tinggi: Latihan Respons Cepat

Merespons provokasi tersebut, pemerintah Taiwan di bawah Presiden Lai Ching-te segera menginstruksikan militer untuk berada dalam status Siaga Tinggi. Kementerian Pertahanan Taiwan mengutuk tindakan Beijing yang dianggap merusak perdamaian regional dan melanggar hukum internasional.

Sebagai tandingan, militer Taiwan meluncurkan “Latihan Respons Cepat”. Jet tempur F-16V milik Taiwan dikerahkan untuk melakukan patroli udara, sementara sistem rudal pesisir darat ke laut telah diaktifkan dan diarahkan ke armada China yang mendekat.

“Kami tidak mencari konflik, tapi kami tidak akan mundur dalam menghadapi intimidasi militer,” tegas juru bicara Kementerian Pertahanan Taiwan dalam konferensi pers darurat di Taipei.

Dampak Terhadap Dunia Penerbangan dan Ekonomi

Skala latihan perang ini tidak hanya berdampak pada aspek militer, tetapi juga mulai melumpuhkan sektor sipil. Otoritas penerbangan Taiwan mengumumkan bahwa China telah menetapkan “Zona Bahaya Sementara” di wilayah udara sekitar Taipei selama 10 jam.

Akibatnya, lebih dari 850 jadwal penerbangan internasional dan domestik terganggu. Diperkirakan sekitar 100.000 penumpang terdampak pada hari Selasa ini. Maskapai penerbangan dipaksa mencari rute alternatif untuk menghindari zona tembakan langsung di Selat Taiwan yang merupakan salah satu jalur perdagangan tersibuk di dunia.

Pemicu: Paket Senjata AS Senilai Rp174 Triliun

Banyak analis menilai bahwa kemarahan Beijing dipicu oleh pengumuman Amerika Serikat baru-baru ini mengenai paket penjualan senjata ke Taiwan senilai USD 11,1 miliar (sekitar Rp174 triliun). Paket ini merupakan salah satu yang terbesar dalam sejarah, mencakup teknologi radar canggih dan sistem pertahanan rudal yang dirancang khusus untuk menangkal invasi amfibi.

Beijing menganggap pengiriman senjata ini sebagai pelanggaran berat terhadap kedaulatan China. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Lin Jian, menyatakan bahwa pihak luar seharusnya “membuang ilusi” bahwa mereka bisa menggunakan Taiwan untuk mengekang China.

Penggunaan Teknologi Futuristik

Hal yang menarik perhatian dunia dalam latihan kali ini adalah pameran teknologi militer terbaru China. PLA merilis video propaganda yang menampilkan penggunaan robot humanoid otomatis, mikro-drone, dan anjing robot bersenjata yang disimulasikan melakukan serangan di medan perkotaan. Ini adalah pertama kalinya China memamerkan aset otonom tersebut dalam konteks simulasi invasi ke Taiwan.

Analisis: Garis Tipis Antara Latihan dan Invasi

Para pakar keamanan internasional memperingatkan bahwa frekuensi dan intensitas latihan militer China yang semakin meningkat membuat garis antara “latihan rutin” dan “persiapan serangan nyata” menjadi sangat tipis. Strategi ini dianggap sebagai perang urat syaraf (psychological warfare) untuk melemahkan moral rakyat Taiwan sekaligus membiasakan dunia internasional dengan kehadiran militer China di perairan kedaulatan Taiwan.

Situasi di Selat Taiwan saat ini tetap sangat cair. Dunia internasional kini tertuju pada bagaimana Amerika Serikat dan Jepang akan merespons pengepungan ini, mengingat posisi Taiwan sebagai jantung industri semikonduktor global yang vital bagi ekonomi dunia.