KONEKSI MEDIA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna hari ini. Pengesahan ini dilakukan di tengah gelombang kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat sipil dan aktivis hak asasi manusia (HAM) yang menilai UU baru ini memuat pasal-pasal bermasalah yang berpotensi melanggar hak-hak dasar warga negara dan memperluas ruang penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum.
Meskipun DPR dan Pemerintah mengklaim revisi KUHAP ini adalah langkah maju untuk memodernisasi sistem peradilan pidana Indonesia yang telah berusia lebih dari empat dekade, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari lembaga-lembaga seperti ICJR, YLBHI, dan Amnesty International Indonesia menyerukan bahwa substansi dan proses pembentukannya jauh dari kata partisipatif dan justru menciptakan apa yang mereka sebut sebagai “kekacauan hukum.” UU KUHAP baru ini dijadwalkan akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026, bersamaan dengan implementasi KUHP baru.
Polemik Pasal ‘Karet’ dan Pembatasan Hak Individu
Kritik utama Koalisi Masyarakat Sipil tertuju pada beberapa ketentuan yang dinilai “ugal-ugalan” dan mengancam hak-hak fundamental warga negara, terutama terkait peningkatan kewenangan kepolisian dan minimnya pengawasan. Salah satu isu paling disoroti adalah pasal yang menegaskan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai penyidik utama.
Peningkatan Kuasa Polisi dan Minimnya Pengawasan
Pasal ini, yang sempat menjadi polemik panas, menetapkan bahwa Penyidik Polri menjadi penyidik tertinggi, sementara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Penyidik Tertentu harus berada di bawah koordinasi dan pengawasan Polri. Menurut aktivis dari Lokataru Foundation, ketentuan ini tidak efisien dan berisiko memperkuat dominasi Polri dalam sistem peradilan pidana.
“Proses penegakan hukum menjadi butuh waktu lama dan birokratis. Rawannya penyalahgunaan kewenangan meningkat karena pengawasan terhadap kepolisian lemah. Selain itu, impunitas terhadap pelaku kepolisian yang melakukan kejahatan akan semakin kuat,” tegas Arif, salah satu perwakilan koalisi, menyoroti bahwa ini adalah pasal yang ‘merebut paksa kemerdekaan diri warga’ karena memperbesar potensi penahanan sewenang-wenang tanpa mekanisme kontrol yang memadai.
Amnesty International Indonesia bahkan menyatakan bahwa revisi ini memperlihatkan regresi yang mengkhawatirkan alih-alih pembaruan hukum yang modern dan berkeadilan. Mereka mendesak agar UU tersebut dibatalkan karena dianggap melanggar HAM.
Inilah Pasal-Pasal yang Membuat UU KUHAP Ditolak
Selain sentralisasi kewenangan penyidikan, beberapa isu kunci lain yang menjadi fokus keberatan publik meliputi:
- Pembatasan Perlindungan Korban: Kritik muncul bahwa UU ini gagal memberikan perlindungan yang memadai bagi korban, termasuk penyandang disabilitas, terutama terkait definisi saksi dan mekanisme perlindungan mereka.
- Proses yang Tidak Transparan: Koalisi sipil menyoroti bahwa proses pembahasan RUU ini, terutama pada fase-fase akhir, dilakukan secara tertutup. Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, bahkan melaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) karena Panja RUU KUHAP dinilai tidak membuka ruang partisipasi publik secara bermakna, bahkan dituduh melakukan pencatutan nama LSM.
- Izin Penggeledahan dan Penyitaan: Walaupun DPR mengklaim UU baru memperketat tindakan penggeledahan dan penyitaan wajib izin hakim, kekhawatiran masih muncul bahwa ketentuan ini bisa disalahgunakan dalam praktiknya, terutama dalam penanganan kasus-kasus yang melibatkan kritik atau aktivisme.
Senjata DPR: Menepis ‘Hoaks’ dan Menantang ke MK
Menanggapi gelombang kritik ini, pihak DPR, khususnya Komisi III, menolak tudingan bahwa UU KUHAP baru ini bersifat represif. Seorang anggota Komisi III DPR RI menegaskan bahwa justru sebaliknya, KUHAP baru telah “memperketat semua tindakan” dan mewajibkan izin hakim untuk penggeledahan dan penyitaan sebagai hasil dari aspirasi masyarakat.
Mereka juga secara keras membantah klaim mengenai kurangnya partisipasi publik. Bahkan, sebagian klaim aktivis disebut sebagai “potongan poster atau unggahan yang bersifat provokatif” dan meminta publik untuk menilai berdasarkan naskah resmi, bukan “hoaks.” Menteri Hukum dan HAM RI juga menekankan bahwa sinkronisasi KUHAP baru dengan KUHP baru yang akan berlaku adalah langkah penting untuk memastikan reformasi hukum pidana berjalan konsisten.
Pimpinan DPR mempersilakan masyarakat untuk menempuh jalur Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi jika tidak setuju dengan UU KUHAP yang telah disahkan.
Masa Depan Peradilan Pidana: Kekhawatiran dan Harapan
Dengan disahkannya UU ini, Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan akan segera mengambil langkah hukum, termasuk persiapan untuk mengajukan Judicial Review, sebagai upaya terakhir untuk membatalkan pasal-pasal yang dianggap mencederai HAM dan demokrasi. Mereka menilai bahwa UU KUHAP ini berpotensi menjadi “pasal karet” yang dapat digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan memperkuat impunitas aparat.
Pertanyaan besar yang tersisa adalah apakah UU KUHAP baru yang akan berlaku pada Januari 2026 ini benar-benar akan menjadi fondasi kuat bagi reformasi peradilan pidana, meningkatkan perlindungan hak warga negara, dan menutup ruang penyalahgunaan kewenangan, atau justru memperluas ruang abu-abu bagi ketidakadilan.

