KONEKSI MEDIA – Jaksa Penuntut Khusus Korea Selatan secara resmi menuntut mantan Presiden Yoon Suk-yeol dengan hukuman 10 tahun penjara dalam sidang tuntutan yang digelar di Pengadilan Distrik Pusat Seoul pada Jumat (26/12/2025). Tuntutan ini menandai babak baru yang krusial dari runtuhnya kekuasaan Yoon pasca-deklarasi darurat militer yang kontroversial pada akhir tahun 2024 lalu.
Tim jaksa yang dipimpin oleh Jaksa Khusus Cho Eun-suk menyatakan bahwa Yoon telah melakukan “kejahatan berat” terhadap tatanan konstitusional negara. Jaksa menilai Yoon telah memprivatisasi institusi negara demi kepentingan pribadi dan berupaya menutupi tindakan kriminalnya dengan cara yang merusak demokrasi.
Rincian Dakwaan: Dari Perintangan Keadilan hingga Penyalahgunaan Wewenang
Tuntutan 10 tahun penjara ini bukan berasal dari satu dakwaan tunggal, melainkan akumulasi dari beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan Yoon selama dan setelah drama darurat militer 3 Desember 2024. Berikut adalah rincian pembagian hukuman yang diajukan jaksa:
- 5 Tahun Penjara untuk Perintangan Keadilan: Yoon dituduh menghalangi proses hukum secara sengaja. Salah satu poin utamanya adalah aksi Yoon yang membarikade diri di dalam kompleks kepresidenan pada Januari 2025 untuk menghindari penangkapan oleh penyidik antikorupsi.
- 3 Tahun Penjara untuk Penyalahgunaan Kekuasaan: Jaksa menemukan bahwa Yoon telah melanggar hak-hak sembilan anggota kabinetnya dengan tidak mengundang mereka dalam rapat pengambilan keputusan darurat militer yang krusial. Selain itu, ia dituduh menyebarkan informasi palsu kepada media asing dan menghancurkan rekaman komunikasi telepon.
- 2 Tahun Penjara untuk Pemalsuan Dokumen: Yoon didakwa menyusun dan kemudian memusnahkan dokumen proklamasi darurat militer yang telah direvisi setelah dekrit tersebut dicabut akibat tekanan parlemen dan rakyat.
“Terdakwa, yang seharusnya menjadi pelindung tertinggi Konstitusi, justru menyalahgunakan kekuasaannya dan melukai perasaan rakyat yang telah mempercayainya,” tegas salah satu anggota tim jaksa dalam persidangan.
Pembelaan Yoon: Demi Melawan Pengkhianatan
Meskipun menghadapi tumpukan bukti dan tuntutan berat, Yoon Suk-yeol tetap bersikukuh bahwa tindakannya benar. Dalam nota pembelaannya, ia menyatakan bahwa deklarasi darurat militer tersebut adalah langkah darurat yang sah untuk melindungi negara dari apa yang ia sebut sebagai “aktivitas pro-Korea Utara dan elemen pengkhianat” di dalam pemerintahan dan parlemen.
Yoon juga menolak tuduhan bahwa ia berusaha melarikan diri dari hukum. Tim hukumnya berargumen bahwa penahanan Yoon selama ini sudah cukup membebani dan meminta pengadilan untuk menunda vonis hingga persidangan kasus “pemberontakan” (insurrection) selesai. Namun, majelis hakim menolak permintaan tersebut dan tetap menjadwalkan pembacaan vonis pada 16 Januari 2026.
Dampak Politik dan Kasus Lain yang Menanti
Kasus perintangan keadilan ini hanyalah satu dari total delapan kasus hukum yang menjerat Yoon. Persidangan yang jauh lebih berat yakni tuduhan memimpin pemberontakan masih berlangsung dan diperkirakan akan mencapai vonis pada Februari 2026. Dalam kasus pemberontakan tersebut, undang-undang Korea Selatan bahkan memungkinkan hukuman maksimal berupa hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Kejatuhan Yoon Suk-yeol merupakan salah satu momen paling kelam dalam sejarah politik modern Korea Selatan. Setelah dimakzulkan oleh parlemen dan dicopot dari jabatannya oleh Mahkamah Konstitusi pada April 2025, ia menjadi presiden pertama dalam sejarah negara tersebut yang ditangkap saat masih menjabat (sebelum akhirnya resmi diberhentikan).
Publik Korea Selatan kini menunggu dengan cermat keputusan hakim pada Januari mendatang. Jika hakim mengabulkan tuntutan jaksa, Yoon akan menghabiskan satu dekade di balik jeruji besi hanya untuk satu rangkaian kasus ini saja, belum termasuk potensi tambahan hukuman dari kasus-kasus lainnya yang melibatkan istrinya, Kim Keon-hee.

