Kardinal Suharyo Kerusakan Hutan Dibuat yang Kaya, Rakyat Kecil Menanggung Dampak

Kardinal Suharyo: Kerusakan Hutan Dibuat yang Kaya, Rakyat Kecil Menanggung Dampak

KONEKSI MEDIA – Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo kembali menyampaikan pernyataan tajam yang mengaitkan kerusakan lingkungan dengan ketimpangan kekuasaan saat khotbah dalam Misa Pontifikal Natal di Gereja Katedral Jakarta, Kamis (25/12/2025). Dalam tausiyahnya, ia menyoroti dampak kerusakan hutan yang semakin parah akibat tindakan kelompok berkekuatan dan berpengaruh, serta bagaimana masyarakat kecil menjadi pihak yang paling menderita.

Kardinal Suharyo menyatakan,

“Jika di suatu negara yang kuat, yang kaya merusak hutan, korbannya siapa? Korbannya saudara-saudara kita yang tidak mempunyai kuasa apa pun untuk mencegah itu.” Pernyataan ini ia sampaikan di depan ratusan jemaat yang hadir dalam perayaan Natal di Katedral Jakarta, yang biasanya menjadi momentum refleksi spiritual dan sosial bagi umat Katolik dan masyarakat luas.

Inti Pernyataan dan Kritik Lingkungan Hidup

Menurut Suharyo, kerusakan alam yang disebabkan oleh penebangan hutan, perubahan fungsi lahan, dan eksploitasi sumber daya alam oleh pihak berkepentingan tidak hanya soal ekologi semata tetapi juga soal keadilan sosial. Ia menegaskan bahwa efek buruknya kini sangat tampak dalam bencana alam yang menimpa wilayah Sumatera banjir besar dan longsor yang memporak-porandakan rumah penduduk dan memaksa ribuan orang kehilangan tempat tinggal.

Ia menilai bencana seperti ini bukan sekadar “kejadian alam”, melainkan konsekuensi dari kerusakan ekosistem yang makin parah akibat eksploitasi hutan yang berlebihan. Menurutnya, pemulihan masyarakat yang terdampak bencana itu bukanlah proses singkat.

“Untuk memulihkan kembali situasi seperti semula, saudara-saudara kita ini membutuhkan waktu 20-25 tahun, bukan masalah 1 atau 2 bulan,” ujar Suharyo, mempertegas panjangnya dampak yang harus ditanggung oleh masyarakat kecil.

Ia juga menyinggung soal kepemilikan tanah dan bagaimana ketika tanah warga tertimbun oleh longsor, warga kerap kesulitan membuktikan hak atas lahan mereka di tengah kekacauan administratif dan trauma sosial.

“Badan Pertanahan Nasional … kalau diminta sertifikat saya mana sekarang? Susah sekali,” katanya, menggambarkan realitas pahit yang dihadapi korban bencana.

Selain itu ia mempertanyakan proses perizinan yang sering kali dianggap permisif, yang justru membuka peluang perusakan hutan dilakukan tanpa pertimbangan dampak lingkungan yang matang. Ia menegaskan perbedaan antara kegiatan “legal” dan “ilegal” sering kali sangat tipis dalam praktiknya, apalagi ketika izin diberikan tanpa pengawasan yang ketat.

Pesan Moral dan Global

Dalam kesempatan itu, Kardinal Suharyo mengaitkan persoalan kerusakan lingkungan dengan perayaan Natal yang melambangkan kelahiran Yesus Kristus sebagai penyelamat umat manusia. Ia menyerukan agar sikap peduli terhadap lingkungan hidup dan keadilan sosial menjadi bagian integral dari perayaan dan tindakan nyata umat beragama di seluruh dunia.

Ia mengingatkan bahwa persoalan lingkungan bukan hanya masalah Indonesia tetapi fenomena global yang disebabkan oleh gaya hidup berlebihan dan eksploitasi sumber daya tanpa batas. Ia pernah berdiskusi dengan kerabatnya di Jerman terkait pemborosan energi di negara maju sebagai contoh bagaimana negara kaya juga memiliki tanggung jawab besar dalam krisis ekologis.

Dengan nada tegas, ia berkata bahwa bumi adalah ruang hidup bersama yang harus dijaga demi keberlangsungan kehidupan seluruh umat manusia.

“Dunia ini adalah tempat kita hidup bersama-sama. Yang kaya merusak hutan, korbannya adalah negara-negara yang miskin,” tegas Suharyo.

Reaksi Beragam dan Dukungan Aksi Nyata

Pernyataan Kardinal Suharyo ini mendapat respons dari berbagai kalangan. Sebagian masyarakat menyambut positif seruan moral-ekologis tersebut, melihatnya sebagai panggilan kesadaran yang kuat untuk memperjuangkan keadilan lingkungan dan solidaritas sosial, terutama bagi komunitas terdampak bencana. Kritikus lingkungan mengapresiasi Suharyo karena membuka dialog antara agama dan tanggung jawab sosial.

Sementara itu, kelompok industri dan beberapa pejabat daerah mungkin melihat pernyataan ini sebagai kritik tajam terhadap praktek eksploitasi yang selama ini menjadi sorotan publik. Undang-undang dan mekanisme pengawasan izin eksploitasi sumber daya alam menjadi bahan diskusi lanjutan di berbagai forum diskusi publik dan akademik.

Selain itu, pernyataan Suharyo juga sejalan dengan inisiatif yang akan didorong oleh Keuskupan Agung Jakarta pada tahun 2026, yang fokus pada kampanye pertobatan ekologis sebentuk ajakan tindakan nyata menjaga lingkungan, mulai dari hal kecil seperti mengurangi sampah makanan hingga perubahan gaya hidup yang lebih ramah lingkungan.

Konteks Lebih Luas: Natal dan Solidaritas

Tema besar Natal 2025 di Gereja Katedral Jakarta memang tak hanya spiritual, tetapi juga sosial. Suharyo sebelumnya mendorong seluruh umat Katolik di Indonesia untuk bersama-sama menggalang dana dan bantuan bagi korban bencana di berbagai wilayah seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, yang diperkirakan sangat terbebani oleh dampak kerusakan alam dan infrastruktur yang hancur.

Melalui pesan ini, Suharyo mengajak semua pihak termasuk para pemimpin negara dan masyarakat umum untuk memaknai Natal sebagai momentum refleksi moral terhadap tanggung jawab bersama terhadap ciptaan dan sesama manusia yang paling rentan.