Kasus Korupsi Tambang Konawe Utara Disetop, KPK Ungkap Kendalanya

Kasus Korupsi Tambang Konawe Utara Disetop, KPK Ungkap Kendalanya

KONEKSI MEDIA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara mengejutkan mengonfirmasi telah menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terkait kasus dugaan korupsi pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Kasus yang menyeret mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, ini sebelumnya diklaim telah merugikan keuangan negara hingga mencapai Rp 2,7 triliun.

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa keputusan untuk menghentikan perkara ini telah diambil sejak akhir tahun 2024. Namun, detail mengenai alasan teknis di balik penghentian tersebut baru diungkapkan secara luas kepada publik pada akhir Desember 2025 ini sebagai bagian dari akuntabilitas kinerja lembaga antirasuah tersebut.

Kendala Perhitungan Kerugian Negara

Alasan utama di balik penerbitan SP3 ini adalah sulitnya membuktikan unsur kerugian keuangan negara secara nyata dan pasti (nyata dan pasti). Berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor, kerugian negara merupakan unsur mutlak yang harus dipenuhi dalam delik korupsi.

“Penerbitan SP3 ini dilakukan karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti. Kendala utamanya adalah dalam penghitungan kerugian keuangan negara oleh auditor,” ujar Budi Prasetyo dalam keterangan resminya di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Meskipun pada tahun 2017 KPK sempat merilis angka estimasi kerugian sebesar Rp 2,7 triliun yang berasal dari penjualan hasil produksi nikel melalui proses perizinan yang melawan hukum, proses audit investigatif di tahap penyidikan tidak berhasil memberikan angka yang solid untuk dibawa ke persidangan. Hal ini diperumit dengan rentang waktu kejadian perkara (tempus delicti) yang sudah cukup lama.

Masalah Kedaluwarsa dan Alat Bukti

Selain hambatan dalam menghitung kerugian negara, KPK juga menyebutkan faktor kedaluwarsa penuntutan sebagai alasan lainnya. Kasus ini berawal dari kebijakan yang diambil Aswad Sulaiman saat menjabat sebagai Penjabat (Pj) Bupati Konawe Utara pada rentang tahun 2007 hingga 2009.

Sesuai dengan ketentuan hukum, masa kedaluwarsa untuk tindak pidana suap adalah 18 tahun untuk ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup, namun untuk kasus suap tertentu dengan ancaman yang lebih rendah, masa kedaluwarsanya lebih singkat.

“Mengingat kejadiannya terjadi pada tahun 2009, terdapat hambatan dalam penggunaan pasal suap karena adanya kedaluwarsa perkara. Hal ini membuat tim penyidik berada dalam posisi sulit untuk meneruskan kasus ke tahap penuntutan,” tambah Budi.

Kilas Balik Kasus Konawe Utara

Kasus ini pertama kali mencuat ke publik pada Oktober 2017. Saat itu, KPK menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka atas dua dugaan tindak pidana:

  1. Korupsi Perizinan: Aswad diduga mencabut secara sepihak Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik PT Antam di Konawe Utara dan menerbitkan setidaknya 30 SK kuasa pertambangan eksplorasi kepada perusahaan swasta lainnya.
  2. Penerimaan Suap: Ia diduga menerima uang sebesar Rp 13 miliar dari perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin tersebut.

Selama delapan tahun penyidikan, kasus ini seolah jalan di tempat. Meski sempat ada upaya untuk menghitung kerugian lingkungan hidup sebagai bagian dari kerugian negara (mengikuti tren kasus tambang seperti kasus Timah), namun tim auditor tetap menemui jalan buntu dalam menyinkronkan data produksi dengan bukti aliran dana yang valid.

Kritik dari Berbagai Pihak

Keputusan KPK ini memicu reaksi keras dari para pegiat antikorupsi. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai penghentian kasus ini sebagai langkah mundur dalam pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam.

“Sangat disayangkan jika kasus sebesar Rp 2,7 triliun dihentikan hanya karena alasan teknis perhitungan. Kami mendorong Kejaksaan Agung untuk mengambil alih jika memang KPK merasa sudah tidak sanggup lagi,” tegas Boyamin Saiman, Koordinator MAKI.

Mantan pimpinan KPK, Laode M. Syarif, juga memberikan catatan bahwa kasus-kasus di sektor pertambangan memang memiliki kompleksitas tinggi, namun penghentian penyidikan pada kasus yang sudah menetapkan tersangka sejak lama dapat memberikan preseden buruk terkait kepastian hukum.

Penegasan Independensi

Menanggapi kritik tersebut, KPK menegaskan bahwa pemberian SP3 ini justru dilakukan demi menjamin kepastian hukum dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Lembaga tersebut menjamin tidak ada intervensi politik atau tekanan dari pihak manapun di balik penghentian kasus nikel ini.

“Status tersangka AS (Aswad Sulaiman) kini gugur demi hukum. Namun, KPK tetap membuka diri jika di masa depan ditemukan bukti baru (novum) yang sangat kuat untuk membuka kembali perkara ini,” tutup Budi.