Site icon Koneksi Media

KPK Setop Kasus Korupsi Tambang Nikel Rp2,7 T: Ini Alasan Utamanya

KPK Setop Kasus Korupsi Tambang Nikel Rp2,7 T Ini Alasan Utamanya

KONEKSI MEDIA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara mengejutkan mengonfirmasi penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan korupsi pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Kasus yang menyeret mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman, ini sebelumnya menjadi sorotan publik karena nilai kerugian negaranya yang fantastis, yakni mencapai Rp2,7 triliun.

Keputusan ini memicu polemik di kalangan pegiat antikorupsi, mengingat perkara ini telah berjalan selama delapan tahun sejak penetapan tersangka pada 2017. Berikut adalah rangkuman mendalam mengenai alasan di balik langkah hukum tersebut dan dinamika yang menyertainya.

Alasan Utama: Kurangnya Bukti dan Masa Kedaluwarsa

Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) didasarkan pada dua pertimbangan yuridis utama. Pertama, setelah melalui proses pendalaman dan penyidikan yang panjang, tim penyidik tidak menemukan kecukupan alat bukti untuk membawa kasus ini ke tahap persidangan.

“Peristiwa yang diselidiki merupakan dugaan tindak pidana yang terjadi pada rentang waktu 2007 hingga 2009. Setelah dilakukan pendalaman materiil, tim tidak menemukan bukti yang cukup untuk memenuhi unsur pidana yang disangkakan,” ujar Budi dalam keterangannya di Jakarta.

Kedua, KPK menyoroti faktor tempus delicti atau waktu kejadian perkara. Mengingat kasus ini bermula dari kebijakan yang diambil hampir dua dekade lalu (2009), KPK menyebut adanya kendala terkait daluwarsa perkara, khususnya pada pasal sangkaan suap. Penyetopan ini diklaim sebagai bentuk pemberian kepastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat agar status hukum mereka tidak terkatung-katung tanpa kejelasan.

Konstruksi Kasus: Dari IUP Hingga Kerugian Triliunan

Kasus ini berawal pada tahun 2007 saat Aswad Sulaiman menjabat sebagai Penjabat (Pj) Bupati Konawe Utara. Ia diduga mencabut secara sepihak Kuasa Pertambangan (KP) milik PT Aneka Tambang (Antam) yang saat itu menguasai lahan di wilayah tersebut.

Setelah pencabutan tersebut, Aswad diduga menerbitkan sekitar 30 Surat Keputusan (SK) izin eksplorasi kepada sejumlah perusahaan swasta. Proses perizinan ini dinilai melawan hukum karena tidak melalui prosedur yang benar. Kerugian negara sebesar Rp2,7 triliun tersebut dihitung berdasarkan nilai penjualan produksi nikel yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut hingga tahun 2014. Selain kerugian negara, Aswad juga sempat diduga menerima suap sebesar Rp13 miliar dari perusahaan-perusahaan pemegang izin tersebut.

Gelombang Protes dari Pegiat Antikorupsi

Keputusan penghentian kasus ini menuai kritik tajam dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menilai langkah KPK ini sebagai kemunduran besar dalam upaya pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam.

“Sangat aneh jika kasus dengan kerugian Rp2,7 triliun dihentikan dengan alasan kurang bukti setelah bertahun-tahun disidik. Kami berencana mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Januari 2026 untuk menguji keabsahan SP3 ini,” tegas Boyamin.

Senada dengan MAKI, Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mempertanyakan transparansi KPK. ICW menyoroti mengapa informasi penghentian kasus ini baru mencuat ke publik pada akhir 2025, padahal keputusan SP3 dikabarkan sudah ditandatangani sejak Desember 2024.

Pintu Belum Sepenuhnya Tertutup

Meskipun penyidikan telah dihentikan, KPK menyatakan tetap membuka diri jika di kemudian hari ditemukan bukti baru (novum).

“Kami tetap terbuka bagi masyarakat yang memiliki informasi atau bukti baru yang valid terkait perkara ini. Jika ada bukti kuat yang baru ditemukan, kasus ini bisa dibuka kembali,” tambah Budi Prasetyo.

Kasus ini menjadi pengingat akan sulitnya pembuktian korupsi di sektor pertambangan yang melibatkan birokrasi rumit dan rentang waktu yang lama. Publik kini menanti apakah gugatan praperadilan dari masyarakat sipil akan mampu memaksa lembaga antirasuah ini untuk membedah kembali berkas perkara nikel Konawe Utara tersebut.

Exit mobile version