KONEKSI MEDIA – Ketegangan di perbatasan Thailand dan Kamboja kembali memuncak, memicu bentrokan bersenjata skala besar yang memaksa otoritas Thailand mengeluarkan perintah evakuasi mendesak bagi warga sipil di empat provinsi. Laporan terbaru menyebutkan bahwa baku tembak menggunakan senjata berat dan artileri kembali terjadi di beberapa titik sengketa, mengakhiri gencatan senjata sementara yang rapuh.
Peristiwa ini menandai eskalasi terburuk dalam hubungan bilateral kedua negara di tahun 2025. Bentrokan yang memanas sejak pertengahan tahun ini diwarnai dengan serangan udara dan tembakan roket. Hingga saat ini, data menunjukkan bahwa lebih dari 100.000 warga telah dievakuasi ke tempat penampungan darurat, sementara korban jiwa dari pihak militer dan sipil terus bertambah.
Eskalasi Mendadak dan Perintah Evakuasi Massal
Situasi darurat ini dipicu oleh insiden yang dilaporkan terjadi di sekitar Kuil Ta Moan Thom dan Ta Kwai, dua situs kuno yang menjadi bagian dari sengketa teritorial yang telah berlangsung puluhan tahun.
Pada pagi hari ini, baku tembak dilaporkan terjadi secara sporadis sebelum kemudian meluas hingga melibatkan artileri. Pihak Militer Thailand (RTA) menuding pasukan Kamboja (RCA) melanggar batas demarkasi dan menembaki komunitas sipil di Distrik Kap Choeng, Provinsi Surin, menggunakan roket BM-21. Sebagai respons, Thailand meluncurkan tembakan balasan, termasuk pengerahan jet tempur F-16 untuk menyerang target militer Kamboja di darat, sebuah langkah yang disebut oleh Phnom Penh sebagai tindakan “agresi militer brutal”.
Akibat meluasnya zona tempur ke setidaknya 12 titik perbatasan, Pemerintah Thailand mengaktifkan protokol darurat dan memerintahkan evakuasi paksa di empat provinsi yang berbatasan langsung dengan Kamboja. Provinsi Surin, Sisaket, Buriram, dan Ubon Ratchathani menjadi fokus utama evakuasi, dengan lebih dari 100.000 jiwa dipindahkan ke hampir 300 titik penampungan aman. Di sisi lain, Kamboja juga dilaporkan mengevakuasi puluhan ribu warganya dari provinsi Oddar Meanchey dan Preah Vihear.
“Kami tidak punya pilihan. Ancaman roket dan pecahan peluru artileri terlalu nyata. Keselamatan warga sipil adalah prioritas utama,” ujar seorang Juru Bicara Kementerian Pertahanan Thailand dalam konferensi pers darurat di Bangkok.
Akar Konflik: Sengketa Wilayah Abadi
Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja bukan hal baru. Akar ketegangan ini berasal dari garis batas yang tidak jelas, yang ditetapkan oleh Perjanjian Prancis-Siam pada tahun 1904, ketika Kamboja berada di bawah kekuasaan kolonial Prancis.
Titik panas utama konflik ini adalah area di sekitar Kuil Preah Vihear, meskipun Mahkamah Internasional (ICJ) telah memutuskan pada tahun 1962 bahwa kuil tersebut berada di bawah kedaulatan Kamboja. Namun, wilayah hutan di sekitarnya tetap menjadi sengketa.
Eskalasi terbaru di tahun 2025 bermula pada bulan Februari dengan insiden kecil yang melibatkan wisatawan Kamboja di Kuil Prasat Ta Moan Thon yang disengketakan. Ketegangan memuncak pada 28 Mei ketika seorang tentara Kamboja tewas dalam baku tembak, disusul insiden ranjau darat pada 23 Juli yang melukai tentara Thailand.
Meskipun upaya diplomatik, termasuk pertemuan tingkat tinggi dan mediasi oleh pihak ketiga seperti Malaysia dan Amerika Serikat, sempat menghasilkan gencatan senjata, kekerasan kembali pecah. Ledakan ranjau darat pada November lalu, yang melukai dua tentara Thailand, bahkan menyebabkan Bangkok menangguhkan kesepakatan damai.
Tekanan Internasional dan Seruan ASEAN
Komunitas internasional, khususnya Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), kembali berada di bawah tekanan untuk bertindak. Konflik yang berkepanjangan ini dikhawatirkan mengganggu stabilitas regional, memicu krisis pengungsi, dan membuka potensi perdagangan senjata.
ASEAN telah mendesak kedua negara untuk segera kembali ke meja perundingan dan mematuhi perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati sebelumnya. Namun, saling tuduh antara Bangkok dan Phnom Penh mengenai pihak yang memulai serangan membuat upaya mediasi menjadi sangat sulit.
Di tengah situasi ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand menegaskan komitmen mereka untuk menyelesaikan konflik secara damai, meskipun saat ini tindakan militer dianggap sebagai “pembelaan diri” yang diperlukan.
Sementara itu, ribuan warga yang mengungsi kini menghadapi ketidakpastian. Mereka berharap para pemimpin kedua negara dapat segera menemukan solusi permanen, mengakhiri siklus kekerasan yang telah menghantui perbatasan selama beberapa generasi. Situasi terkini di perbatasan tetap tegang, dengan kedua belah pihak terus memperkuat posisi militer dan mengerahkan pasukan tambahan.

