KONEKSI MEDIA – Purbaya menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI mengungkap bahwa perubahan status batu bara dari “non-Barang Kena Pajak (non-BKP)” menjadi “Barang Kena Pajak (BKP)” akibat UU Ciptaker telah membuat penerimaan negara dari sektor batu bara justru merosot tajam.
Sebelum UU Ciptaker, batu bara tidak dikenai PPN sebagai non-BKP. Setelah UU Ciptaker berlaku (2020), batu bara menjadi BKP, sehingga ekspor atau penjualan batu bara dianggap kena PPN. Namun, mekanisme pajak baru ini memungkinkan perusahaan tambang untuk meminta restitusi (pengembalian) PPN masukan yaitu pajak yang dibayar atas biaya produksi dan input jika PPN masukan lebih besar daripada PPN keluaran.
Masalahnya: besarnya restitusi itu cukup besar, hingga membuat net penerimaan dari batu bara menjadi negatif alih-alih memberi keuntungan pajak bagi negara, malah negara “membayar” kepada pelaku industri. Purbaya menyebut besaran restitusi ini bisa mencapai sekitar Rp 25 triliun per tahun.
Dengan kata lain: UU Ciptaker, dalam hal ini, dianggap telah “membalikkan” roda fiskal dari potensi pendapatan menjadi beban bagi APBN.
Penjelasan Mekanisme & Dampak
Status BKP & Restitusi Pajak
- Dalam UU sebelum Ciptaker, batu bara dikecualikan dari pengenaan PPN artinya ekspor/penjualan batu bara tidak dikenakan pajak pertambahan nilai.
- Setelah UU Ciptaker, batu bara dikategorikan sebagai BKP. Dalam praktiknya, ekspor batu bara tetap dikenakan PPN 0%, sesuai ketentuan PPN 0% untuk ekspor. Namun, peralihan status membuka hak bagi industri untuk mengkreditkan PPN masukan.
- Jika total PPN masukan (pajak yang dibayar atas bahan baku, peralatan, biaya produksi, dll.) lebih besar dari PPN keluaran, wajib pajak bisa meminta restitusi, sehingga pemerintah “membayar kembali” selisihnya.
Mengubah Positif Menjadi Negatif
Menurut Purbaya: meskipun industri batu bara tetap menghasilkan keuntungan (terutama saat harga komoditas global tinggi), skema restitusi membuat kontribusi fiskal dari sektor ini berbalik arah bukan lagi penerimaan, tetapi subsidi tak langsung dari negara.
Ia menilai ini bertentangan dengan semangat keadilan ekonomi karena: sektor yang sebenarnya mampu bahkan “kaya” justru menerima subsidi dari negara, sementara anggaran negara tertekan.
Upaya Memperbaiki: Pengenaan Bea Keluar
Untuk memperbaiki kondisi fiskal dan mengurangi beban restitusi, pemerintah berencana mengenakan bea keluar (export duty / “bea keluar”) atas ekspor batu bara dan emas, dengan tarif 1–5% untuk batu bara, dan 7,5–15% untuk emas.
Purbaya menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan mengurangi daya saing industri di pasar global karena, menurutnya, ini hanya mengembalikan skema fiskal seperti sebelum UU Ciptaker diterapkan.
Dengan kebijakan bea keluar ini, pemerintah menargetkan tambahan penerimaan sekitar Rp 20 triliun per tahun dari batu bara dan Rp 3 triliun dari emas total sekitar Rp 23 triliun yang bisa membantu menutup defisit anggaran 2026.
Kritik dan Kontroversi: Apa Kata Publik & Pakar
Menurut Purbaya: penetapan batu bara sebagai BKP dalam UU Ciptaker adalah keputusan yang dengan penghitungan saat itu kurang matang. Ia menilai ada “kecerdikan” dari industri tambang dalam memanfaatkan celah restitusi sesuatu yang mungkin luput dari perkiraan pembentuk undang-undang
Pengamat fiskal dan pajak menyoroti bahwa peristiwa ini menunjukkan kelemahan regulasi pajak dalam undang-undang omnibus seperti UU Ciptaker: perubahan status barang sekadar formalitas pajak tanpa memperhitungkan implikasi restitusi jangka panjang yang pada akhirnya bisa membebani APBN.
Di sisi lain, ada argumen dari para pelaku industri bahwa restitusi adalah hak legal mereka karena mereka memang membayar pajak masukan berdasarkan biaya produksi. Tapi kritik utama adalah soal ketimpangan: industri melewati periode menguntungkan bisa “cetak untung” melalui restitusi, sementara negara kehilangan potensi pendapatan besar.
Dengan rencana bea keluar, pemerintah berharap bisa menstabilkan kondisi fiskal dan menutup potensi kebocoran penerimaan sekaligus menjaga industri agar tidak terkerekan terlalu berat.
Relevansi Saat Ini & Potensi Dampak ke Depan
- Pengungkapan oleh Purbaya terjadi di saat pemerintah tengah bersiap menghadapi APBN 2026 sehingga temuan ini punya implikasi besar terhadap kebijakan fiskal dan anggaran negara.
- Upaya mengenakan bea keluar batu bara dan emas bisa menjadi momentum perubahan regulasi terutama bagi komoditas ekspor besar agar kontribusi terhadap negara lebih proporsional.
- Namun, implementasi kebijakan bea keluar perlu diawasi ketat: fluktuasi harga komoditas global, volume ekspor, dan respons industri akan menentukan apakah target penerimaan Rp 23 triliun per tahun realistis.
- Di sisi transparansi: pernyataan terbuka seperti ini dari Menteri Keuangan bisa memicu diskursus publik mengenai keadilan pajak, subsidi terselubung, dan peran regulasi dalam menyeimbangkan kepentingan negara vs industri.

