Tragedi Aceh Tamiang Kota Hancur Ditimbun Kayu dan Lumpur, Krisis Kesehatan Mengintai

Tragedi Aceh Tamiang: Kota Hancur Ditimbun Kayu dan Lumpur, Krisis Kesehatan Mengintai

KONEKSI MEDIA – Sepekan setelah diterjang banjir bandang dan longsor pada akhir November 2025, Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh, kini menjadi sorotan nasional dan global akibat kondisi pascabencana yang sangat memprihatinkan. Wilayah ini disebut sebagai daerah yang paling terpuruk di antara 18 kabupaten/kota yang terdampak bencana di Aceh dan sekitarnya. Pemandangan luluh lantak, desa yang hilang ditelan banjir, serta krisis logistik dan kesehatan telah mengubah kabupaten ini menjadi “kota mati” dan bahkan dijuluki “Kota Zombie” oleh sebagian warga yang bertahan.

Desa Hilang, Infrastruktur Lumpuh Total

Kerusakan yang terjadi di Aceh Tamiang melampaui batas perkiraan. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau yang akrab disapa Mualem, mengungkapkan bahwa sejumlah kampung dan kecamatan di Aceh Tamiang kini hanya tinggal nama.

“Aceh Tamiang hancur habis, atas sampai bawah sampai jalan sampai ke laut habis semuanya. Yang paling terpuruk adalah Aceh Tamiang,” ujar Mualem.

Salah satu kasus paling ekstrem adalah Desa Sekumur di Kecamatan Sekarak yang dilaporkan hilang disapu banjir bandang. Di desa yang sebelumnya dihuni 280 rumah itu, kini hanya tersisa bangunan masjid yang kokoh berdiri di tengah lautan tumpukan kayu gelondongan dan lumpur tebal. Ketinggian banjir di desa tersebut bahkan disebut-sebut hampir mencapai atap masjid. Data sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat setidaknya 780 unit rumah hanyut dan ribuan lainnya mengalami rusak berat hingga ringan.

Kelumpuhan infrastruktur menjadi masalah utama. Jalanan utama, pusat kota Kuala Simpang, hingga fasilitas publik seperti RSUD Aceh Tamiang dipenuhi lumpur tebal dan tumpukan kayu yang terseret arus Sungai Tamiang. Tumpukan material ini menutup akses vital, membuat distribusi bantuan logistik ke desa-desa yang terisolasi terutama di 10 kecamatan seperti Tenggulun, Tamiang Hulu, Sungai Iyu, dan Banda Mulia menjadi sangat sulit. Banyak warga terpaksa tidur di jalanan atau bertahan di lantai dua bangunan, berjuang tanpa air bersih dan makanan.

Krisis Kesehatan dan Ancaman Penyakit

Di tengah upaya pembersihan dan pemulihan, krisis kesehatan mengintai para penyintas. Laporan dari berbagai tim relawan dan kesehatan menunjukkan bahwa banyak warga di pengungsian mulai terserang penyakit. Infeksi luka, diare, demam, dan penyakit kulit menjadi kasus yang paling banyak ditemui, dipicu oleh kondisi sanitasi yang tidak memadai dan minimnya akses terhadap air bersih.

Warga di desa-desa terdampak menceritakan betapa berharganya setetes air bersih. Beberapa hari hingga sepuluh hari mereka terisolasi, memaksa sebagian untuk mengonsumsi air seadanya, bahkan ada laporan warga terpaksa memasak nasi menggunakan air banjir. Meskipun bantuan air bersih dari Pertamina Peduli dan pihak lain mulai masuk ke beberapa desa, kebutuhan air bersih dan obat-obatan dasar, antiseptik, serta fasilitas WC portabel masih sangat mendesak. Kondisi RSUD Aceh Tamiang yang dipenuhi lumpur juga sempat melumpuhkan layanan kesehatan, bahkan dilaporkan 10 pasien meninggal dunia saat banjir melanda. Pihak Pemkab menargetkan pembersihan RSUD selesai dalam tiga hari untuk menjadikannya rumah sakit sementara.

Upaya Penanganan dan Bantahan Isu

Pemerintah pusat melalui BNPB dan kementerian terkait, bersama Pemkab Aceh Tamiang, TNI, dan Polri, terus mengintensifkan upaya penanganan darurat. Bantuan logistik didistribusikan melalui jalur udara (helikopter) dan laut ke wilayah terisolasi. Data sementara mencatat total bantuan yang sudah terdistribusi via udara mencapai 18,2 ton dan via laut 1,8 ton. Selain itu, pemasangan jembatan bailey di Sungai Teupin Mane juga dikebut untuk memulihkan akses darat yang terputus.

Namun, selain kondisi fisik yang parah, bencana ini juga diwarnai isu dan spekulasi yang menambah kepiluan. Sempat beredar kabar liar mengenai 250 warga di salah satu desa meninggal dunia akibat banjir bandang. Bupati Aceh Tamiang, Irjen (Purn) Armia Pahmi, dengan tegas membantah isu tersebut, meskipun ia membenarkan adanya korban jiwa.

“Saya kira tidak terlalu banyak. Tidak ada orang-orang mengapung,” tegas Armia setelah meninjau langsung ke lokasi.

Di sisi lain, bau menyengat yang tercium di beberapa titik pascabanjir juga memunculkan kekhawatiran adanya korban lain yang belum ditemukan.

Situasi di Aceh Tamiang saat ini merupakan fase berat pascabencana. Pemulihan akan memakan waktu lama, membutuhkan kerja keras dalam pembersihan material kayu dan lumpur yang menutup hampir seluruh area, serta dukungan logistik, kesehatan, dan penanganan trauma bagi ribuan penyintas. Sorotan tajam ini harus menjadi momentum bagi seluruh pihak untuk mengulurkan tangan demi membangkitkan kembali Aceh Tamiang dari keterpurukan.