KONEKSI MEDIA – Presiden Donald Trump menyatakan pada Jumat (12/12/2025) bahwa Perdana Menteri Thailand Anutin Charnvirakul dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet telah sepakat menghentikan bentrokan bersenjata di perbatasan mereka usai percakapan telepon yang melibatkan dirinya. Pernyataan ini disampaikan melalui media sosial dan sejumlah media internasional.
Menurut Trump, kedua pemimpin telah menyetujui untuk “menghentikan semua penembakan efektif mulai malam itu juga” serta kembali pada kesepakatan damai awal yang sebelumnya difasilitasi, dengan bantuan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, dalam kerangka gencatan senjata yang sudah ada.
Trump menambahkan bahwa kedua negara sudah “siap untuk perdamaian” dan mempertahankan hubungan perdagangan, sekaligus mengucapkan terima kasih kepada Malaysia atas dukungannya.
Latar Belakang Konflik dan Krisis Perbatasan
Bentrokan baru antara Thailand dan Kamboja merupakan babak terkini dari perselisihan panjang mengenai batas wilayah perbatasan sepanjang sekitar 800 km yang bermula sejak era kolonial. Perselisihan ini kembali memanas oleh insiden terbaru, di mana ledakan ranjau di dekat pasukan Thailand memicu respons keras Bangkok dan serangan udara berikutnya.
Kedua negara sebelumnya pernah menandatangani Kuala Lumpur Peace Accord pada Oktober 2025 sebuah perjanjian damai yang difasilitasi oleh Malaysia dan AS yang dimaksudkan untuk mengakhiri konflik bersenjata sebelumnya.
Penolakan dan Ketidakpastian dari Otoritas Thailand dan Kamboja
Meski Trump optimistis bahwa gencatan senjata telah disetujui, respon resmi dari otoritas Thailand menunjukkan gambaran berbeda. PM Thailand Anutin Charnvirakul sendiri mengatakan bahwa meskipun pembicaraan dengan Trump berjalan baik, tidak ada gencatan senjata yang resmi telah disepakati dan konflik masih berlangsung.
Dalam pernyataannya kepada media, Anutin menekankan bahwa Thailand tidak akan secara sepihak menghentikan aksi militer tanpa penarikan pasukan dan penghapusan ranjau oleh Kamboja, serta komitmen nyata dari Phnom Penh untuk menghentikan agresi.
Otoritas Thailand juga menegaskan bahwa militer mereka masih aktif melakukan operasi terhadap posisi-posisi yang dianggap ancaman langsung.
Di pihak Kamboja, ketika Trump menyatakan gencatan senjata, Kamboja melaporkan bahwa serangan bom oleh jet tempur Thailand masih terjadi beberapa jam setelah pernyataan Trump disampaikan. Pihak pertahanan Kamboja juga menegaskan bahwa militer Thailand terus melakukan bombardir terhadap sejumlah target.
Situasi di Lapangan: Bentrokan Masih Terjadi
Laporan dari berbagai media menunjukkan bahwa bentrokan masih intens di beberapa sektor perbatasan, terutama sekitar wilayah yang disengketakan seperti daerah di sekitar Candi Preah Vihear. Serangan dengan artileri, roket BM-21, dan pesawat tempur dilaporkan masih berlangsung meskipun ada klaim gencatan senjata.
Konflik yang kembali merebak ini telah menewaskan sedikitnya puluhan orang termasuk warga sipil dan tentara dari kedua belah pihak serta menyebabkan gelombang pengungsian besar-besaran dengan ratusan ribu orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Dampak Kemanusiaan dan Geopolitik
Kelanjutan bentrokan telah menciptakan kondisi kemanusiaan yang serius di wilayah perbatasan. Banyak warga sipil mengalami kehilangan tempat tinggal, fasilitas kesehatan dan pendidikan terganggu, serta distribusi bantuan menjadi rumit karena daerah yang terkena imbas masih berada di zona konflik.
Secara geopolitik, krisis ini bukan hanya terjadi antara dua negara tetangga, tetapi melibatkan peran berbagai aktor internasional. Trump, Malaysia, dan ASEAN secara luas turut mencoba mengendalikan situasi diplomatik, sementara negara-negara lain mengamati dampaknya terhadap stabilitas kawasan Asia Tenggara.
Analisis dan Tantangan ke Depan
Para analis menilai bahwa klaim Trump tentang gencatan senjata yang telah disepakati perlu diuji kebenarannya di lapangan. Meski ada deklarasi lisan dan dukungan diplomatik dari berbagai pihak, realitas konflik yang masih berlangsung menunjukkan bahwa kesepakatan damai belum sepenuhnya diimplementasikan.
Tantangan besar ke depan adalah membangun mekanisme pengawasan yang efektif terhadap perjanjian damai, termasuk melibatkan pihak ketiga seperti ASEAN atau PBB untuk memantau kepatuhan kedua belah pihak, serta memastikan kebutuhan dasar pengungsi dan korban konflik terpenuhi.
Selain itu, hubungan bilateral yang tegang karena sejarah panjang sengketa wilayah menuntut perundingan yang substantif, bukan hanya pernyataan media semata.

