Umrah Saat Bencana Bupati Aceh Selatan Dipecat Gerindra & Disanksi Kemendagri

Umrah Saat Bencana: Bupati Aceh Selatan Dipecat Gerindra & Disanksi Kemendagri

KONEKSI MEDIA – Keputusan Bupati Aceh Selatan, Mirwan MS, untuk melaksanakan ibadah umrah di tengah bencana banjir dan tanah longsor yang melanda wilayahnya telah memicu rentetan panjang permasalahan dan menuai kecaman keras dari berbagai pihak, mulai dari publik, Pemerintah Provinsi, hingga pusat. Kontroversi ini tidak hanya berujung pada kritik moral dan etika kepemimpinan, namun juga berimplikasi pada sanksi politik serta pemeriksaan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Kepergian Sang Bupati di Tengah Duka

Bencana alam berupa banjir dan longsor parah diketahui melanda Aceh, termasuk Kabupaten Aceh Selatan, yang menyebabkan sejumlah kecamatan terendam dan menimbulkan kerugian signifikan serta pengungsian. Di tengah situasi darurat dan penderitaan warganya, Bupati Mirwan MS justru diketahui berangkat ke Tanah Suci bersama istrinya untuk menunaikan ibadah umrah. Kepergian ini dikabarkan sejak awal Desember 2025.

Informasi mengenai keberangkatan umrah Bupati tersebut segera menyebar dan menjadi sorotan tajam publik, terutama setelah foto-fotonya di Mekkah beredar di media sosial. Banyak pihak menilai tindakan ini sebagai bentuk pengabaian tanggung jawab dan kurangnya sense of crisis seorang kepala daerah saat masyarakatnya sedang membutuhkan kehadiran dan kepemimpinan di garis terdepan.

Reaksi Keras dari Berbagai Penjuru

Gelombang kritik langsung datang bertubi-tubi. Gubernur Aceh, yang akrab disapa Mualem, mengungkapkan kemarahan besar atas tindakan Mirwan. Mualem bahkan dengan tegas menyatakan bahwa dirinya tidak pernah meneken atau memberikan izin bagi Bupati Aceh Selatan untuk bepergian ke luar negeri. Menurutnya, kepala daerah tidak seharusnya meninggalkan wilayahnya di tengah situasi bencana.

Mualem menyerahkan sepenuhnya kepada Mendagri untuk memberikan sanksi yang tegas atas pelanggaran ini, bahkan sempat menyentil, “Bupati cengeng tangani bencana banjir lebih baik mundur.”

Tidak hanya dari pimpinan daerah, kritikan juga datang dari kalangan akademisi dan pengamat politik. Mereka menilai tindakan Bupati ini sebagai kemunduran etika dan moralitas kepemimpinan, terutama mengingat sifat ibadah umrah yang tidak wajib dan seharusnya bisa ditunda demi kepentingan yang lebih mendesak, yakni penanganan bencana.

Sanksi Politik dan Pemeriksaan Kemendagri

Urusan panjang ini segera merembet ke ranah politik dan administratif. Partai Gerindra, partai yang menaungi Mirwan MS, mengambil langkah tegas. Sekretaris Jenderal Gerindra, Sugiono, mengumumkan bahwa Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra telah memutuskan untuk memberhentikan Mirwan MS sebagai Ketua DPC Gerindra Aceh Selatan. Keputusan ini diambil sebagai bentuk sanksi disiplin dan ketegasan partai terhadap kader yang dinilai menyalahi etika dan melukai perasaan masyarakat di tengah bencana.

Di tingkat pusat, Kemendagri menyatakan keprihatinan dan menyayangkan keputusan Bupati Aceh Selatan. Kapuspen Kemendagri, Benni Irwan, memastikan bahwa pihaknya akan menelusuri dan mendalami informasi tersebut, termasuk dugaan Mirwan tidak mengantongi izin resmi dari Mendagri untuk bepergian ke luar negeri saat daerahnya dilanda bencana.

Mendagri Tito Karnavian dikabarkan langsung menghubungi Bupati Mirwan dan memintanya untuk segera pulang ke Tanah Air guna memimpin penanganan dampak bencana di Aceh Selatan. Kemendagri menekankan bahwa setiap kepala daerah wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri sebelum melakukan perjalanan ke luar negeri, terutama dalam situasi darurat. Sanksi administratif yang mungkin dijatuhkan oleh Kemendagri akan menunggu hasil pemeriksaan lebih lanjut.

Klarifikasi dan Pembelaan dari Pihak Bupati

Menanggapi badai kritik yang menerpa, Bupati Mirwan MS melalui juru bicaranya dan klarifikasi pribadi, mencoba meredam kemarahan publik. Pihak Pemkab Aceh Selatan membenarkan keberangkatan umrah, namun berdalih bahwa Bupati telah melakukan peninjauan dan menyalurkan bantuan logistik langsung ke wilayah terdampak sebelum berangkat.

Selain itu, Mirwan juga menyebutkan bahwa kepergiannya merupakan “hajat sebelum Pilkada” sebagai nazar yang telah didaftarkan jauh hari. Ia juga mengklaim bahwa ia sudah berkoordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK) dan menganggap kondisi Aceh Selatan sudah “kondusif” karena tidak ada korban jiwa, sehingga ia merasa bisa meninggalkan daerah untuk sementara.

Namun, klarifikasi ini tampaknya tidak cukup meredakan situasi, mengingat fakta bahwa Gubernur Aceh menolak memberikan izin dan Mendagri meminta ia segera pulang, menunjukkan bahwa situasi di lapangan masih memerlukan kepemimpinan penuh dari kepala daerah. Urusan panjang ini menjadi pelajaran penting tentang pentingnya political will dan sensitivitas seorang pemimpin daerah di masa krisis.