KONEKSI MEDIA – Jagat maya dihebohkan oleh beredarnya sebuah video kontroversial yang memperlihatkan seorang remaja putri di Banyuwangi, Jawa Timur, melakukan aksi tak senonoh dengan meludahi kitab suci Al-Qur’an. Video yang viral sejak akhir November 2025 tersebut memicu amarah dan kecaman luas dari masyarakat, khususnya umat Islam. Tak butuh waktu lama, pihak kepolisian bergerak cepat dan berhasil mengamankan pelaku pada Selasa (9/12/2025).
Kronologi dan Identitas Pelaku
Pelaku yang diidentifikasi sebagai seorang perempuan berinisial S (17), warga Kecamatan Genteng, Banyuwangi, kini telah berada di tangan aparat Polresta Banyuwangi untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Kapolresta Banyuwangi, Kombes Pol. Rama Samtama Putra, membenarkan penangkapan tersebut dan mengonfirmasi bahwa pelaku masih di bawah umur, tepatnya berusia 17 tahun.
Dalam video berdurasi singkat yang menyebar di berbagai platform media sosial, S terlihat mengenakan hijab hitam. Ia awalnya tampak melantunkan beberapa ayat suci Al-Qur’an. Namun, adegan berubah drastis ketika ia tiba-tiba menyisipkan kata-kata kasar dan umpatan yang tidak pantas. Puncak dari aksi yang dinilai sangat meresahkan itu adalah ketika S kemudian dengan sengaja meludahi lembaran kitab suci tersebut. Video ini sontak memicu reaksi berantai dan cepat menyebar, menimbulkan keresahan sosial dan tuntutan agar pelaku segera ditindak.
Kombes Pol. Rama Samtama Putra menjelaskan bahwa penangkapan dilakukan setelah tim siber Polresta Banyuwangi melakukan pelacakan intensif berdasarkan laporan masyarakat dan temuan di media sosial.
“Kami langsung merespons laporan dan video yang beredar. Setelah melakukan penyelidikan mendalam, kami berhasil mengamankan yang bersangkutan di wilayah Genteng,” ujar Kombes Rama saat konferensi pers.
Ia menambahkan bahwa karena pelaku masih di bawah umur, penanganan kasus akan dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, namun proses hukum terkait dugaan penistaan agama tetap berjalan.
Reaksi Keras dari Tokoh Agama dan Masyarakat
Aksi S ini bukan hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai tindakan penistaan agama yang melukai sentimen jutaan umat Islam di Indonesia. Reaksi keras datang dari berbagai elemen masyarakat, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Banyuwangi dan organisasi massa Islam lainnya.
Ketua MUI Banyuwangi, KH. Muhammad Ali Makki, dalam pernyataannya mengecam keras tindakan tersebut.
“Kami sangat menyayangkan dan mengutuk keras perbuatan ini. Meludahi Al-Qur’an adalah penghinaan yang sangat serius terhadap agama Islam. Kami mengimbau kepada seluruh masyarakat untuk tetap tenang dan menyerahkan sepenuhnya kasus ini kepada pihak kepolisian untuk diproses secara hukum yang berlaku,” tegas KH. Ali Makki.
MUI juga mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas motif di balik perbuatan S. Apakah tindakan ini dilakukan atas dasar kesengajaan, pengaruh luar, atau karena faktor kejiwaan. Mereka juga menyoroti pentingnya edukasi digital dan moralitas bagi generasi muda.
Di media sosial, tagar terkait kasus ini menjadi tren. Banyak warganet menyatakan kekecewaan, kemarahan, dan menuntut agar hukuman yang setimpal diberikan, sambil juga menyuarakan perlunya pengawasan orang tua terhadap aktivitas anak di dunia maya. Beberapa pihak lain juga menyerukan agar proses hukum tetap mengedepankan aspek keadilan bagi anak di bawah umur, namun tanpa mengabaikan aspek penistaan agama yang telah terjadi.
Ancaman Hukum dan Pertimbangan Perlindungan Anak
Meskipun pelaku masih berusia 17 tahun, ia dapat dijerat dengan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penodaan Agama, yang mengatur hukuman penjara maksimal lima tahun. Selain itu, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga dapat diterapkan, terutama terkait penyebaran konten yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Namun, karena statusnya sebagai anak di bawah umur, proses penyidikan dan peradilan harus mengacu pada Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Hal ini berarti kepolisian wajib mengutamakan diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, jika memungkinkan.
Saat ini, Polresta Banyuwangi tengah berkoordinasi dengan Balai Pemasyarakatan (Bapas) dan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk melakukan pendampingan psikologis terhadap S. Pendalaman motif menjadi fokus utama, termasuk pemeriksaan kondisi kejiwaan dan latar belakang pelaku.
“Kami akan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, termasuk ahli psikologi anak dan Bapas. Penanganan anak berhadapan dengan hukum harus tetap memperhatikan hak-haknya, namun tindak pidana yang dilakukannya adalah serius. Kami akan mendalami apakah ini motif iseng, tantangan, atau ada dorongan lain di belakangnya,” jelas Kombes Rama lebih lanjut.
Kasus ini menjadi pengingat yang menyakitkan akan bahaya penyalahgunaan media sosial dan krisis moralitas yang dapat terjadi di kalangan remaja. Ini juga menyoroti peran penting lembaga pendidikan, keluarga, dan tokoh agama dalam menanamkan nilai-nilai etika, moral, dan rasa hormat terhadap simbol-simbol keagamaan. Masyarakat Banyuwangi kini menantikan perkembangan kasus ini, berharap proses hukum berjalan transparan dan adil, sekaligus dapat memberikan efek jera bagi siapa pun yang berniat melakukan tindakan serupa di masa mendatang.

